Thursday 8 April 2010

cerpen yang saya bacakan sebagai Ujian Praktek BI hr ini.

 .....

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebutnyebut
nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku
juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia
insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya.
Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus
dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba
menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya
mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan
Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat
merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut
terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti
kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan
ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya,
karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri.
Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh
pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan
semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini
kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di
dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin
gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah
suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar.
Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling
taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di
luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang
Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka.
Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang
cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga
sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya,
bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka
sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi
kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri
kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat
tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau
semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah
saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke
neraka. Letakkan di keraknya!”

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan
yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di
kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia
bertanya saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir
selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali.
Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.”

-Robohnya Surau Kami, AA. Navis

Ps : thx to Abigail

No comments:

Post a Comment